Rabu, 03 Februari 2010

SUWUNG PAMRIH – TEBIH AJRIH - EYANG SOSROKARTONO


Soegih tanpo bondo
Digdojo tanpo adji
Ngaloeroeg tanpo bolo
Menang tanpo ngasoraken

Trimah mawi pasrah
Soewoeng Pamrih, tebih adjrih
Langgeng, tanono soesah, tan ono seneng
Anteng manteng, soegeng djeneng

Tandjoeng Poera 26 October 1931

Suwung pamrih,
Tebih Ajrih,
Menawi kulo ajrih,
Rak kirang manteb kulo dateng Gusti kulo.
Payung kulo Gusti kulo.
Tameng kulo inggih Gusti kulo.

Bagi seseorang yang tak punya pamrih, ia tak punya rasa takut. Apa pun kedudukannya, betapa pun jabatannya. Ia berjalan di atas kebenaran dan keadilan. Ia tak digentarkan oleh keadaan, dan kesulitan-kesulitan yang kelah dihadapinya, karena sikapnya yang konsekuen dan konsisten. Ia berani dan bersedia menanggung akibat perbuatannya atau keputusannya. Bahkan ia menyadari segala perbuatan dan keputusannya juga dipertanggung jawabkannya di hadapan Tuhannya.

Ia lebih mengutamakan harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Nilai-nilai kejiwaan yang luhur, tak akan luntur karena harta benda dan kenikmatan duniawi. Ia berani menghadapi dan mengatasi tantangan hidup dan kesulitan-kesulitan hidup seorang diri. Ia berani memasuki kancah perjuangan hidup tanpa bantuan apa pun dan dari siapa pun. (ngalurug tanpo bolo)

Ia mencari kebenaran dengan pikiran yang terbuka ( seek the truth with open mind). Jiwanya tidak kerdil, bukan pula pengkhianat atau penjilat, ia benci kepada sifat pengecut. Dalam usahanya mencari nafkah, sangat terpuji.

Ia menyadari bahwa dalam hidup ini penuh kesulitan ( ing donya mung kebak kangelan, sing sopo oran gelem kangelan, ojo ana ing donya). Kesulitan harus diatasi. Kalau kesulitan sudah dipecahkan maka isinya adalah kebahagiaan.

Ia tahu makna pengorbanan, namun dilakukan dengan ikhlas. Setiap saat ia akan kena fitnah. Ia merasakan hal itu. Betapa pun bersihnya manusia seperti salju dan betapa pun putihnya seperti kapas, namun manusia tidak akan lepas dari fitnahan. Tapi kalau ini terjadi, dan dilakukan pengusutan, maka yang muncul adalah kebenaran. Kebenaran itu kadang-kadang terdesak, tapi tidak pernah musnah. Kebenaran selalu ada pada orang yang “ suwung pamrin, tebih ajrih”.

Ia sudah menyatu dengan Tuhannya, karena itu ia digdaya tanpo aji. Payung kula Gusti kula, tameng kula inggih Gusti kula. Karena kesediaannya untuk berkorban, menolong sesama, manusia yang susah, yang sakit, bukan dengan tekad pamrih, melainkan dengan tekad “asih”. “Ajini pun inggih boten sanes namung aji tekadilmuni pun ilmu pasrah, rapalipun adiling Gusti. Sinau melu susah, melu sakit, tegesipun: sinau ngudi raos lan batos, sinau ngudi kamanungsan. Ganjarane, ayu lan arume sesami”.

Ia akan diterima dengan baik, di mana pun ia berada. Ia bersahabat dengan siapa pun. Dari orang melarat yang hina sampai pada orang-orang besar dan berpangkat, serta orang-orang kaya. Ia tidak suka membeda-bedakan. Ia melihat bukan kepada apa yang nampak secara lahiriah, bukan materi yang dinilai, bukan pula kedudukan yang dihargai. Ia melihat semuanya dengan wajar. Bukankah semua itu manusia juga, dengan segala kelemahan danketerbatasannya.

Ia bersifat lapang dada, lebih suka mengampuni dari pada menghukum, lebih bersemangat membimbing daripada menghancurkan.
Ia seorang yang bijaksana, beliau pernah berkata : “…….. nanging kulo mboten kenging nilar patokan waton kulo piyambak, utawi supe dateng maksud lan ancasipun agesang, inggih punika: Ngawula dateng kawulaning Gusti, lan memayu ayuning urip……….”

Ia punya sahabat di mana-mana, siapa pun ingin bersahabat dengan beliau, sebab ketika berdekatan dengan beliau, mereka merasakan adanya getaran hidup sampai ke relung hatinya yang paling dalam. Getaran hidup yang memancarkan rasa tentrem, langgeng tan ana susah tan ana bungah, anteng manteng sugeng jeneng.

Suwung pamrih, tebih ajrih. Orang yang punya pamrih sama dengan orang yang lemah. Orang yang punya pamrih, akan mendapatkan sesuatu, jadilah ia berhutang budi kepada orang yang memberi sesuatu kepadanya. Maka sulit dan sangat sulit bagi orang yang sudah berhutang budi dapat bertindak adil.

Pamrih mendapatkan kekayaan, naik pangkat, mendapatkan wanita dan lain-lain. Bahkan kasih kita kepada Tuhan harus tak berpamrih. Kalau kita berpamrih berarti kasih kita tidak ikhlas. Tidak berpamrih (suwung pamrih) memang sangat sulit. Perhatikan syair doa si cantik Rabi’ah Adawiyah dari Irak:

Ya Tuhan, kalau aku menyembah Engkau
hanya karena takut neraka-Mu
masukan saja aku ke neraka itu
Kalau aku menyembah Engkau
Karena tamak akan surga-Mu
Haramkan aku daripadanya
Tetapi, kalau aku menyembah kareda ridha-Mu
Maka terimalah aku

Karena pamrih, di sinilah manusia mulai terjerat, masuk perangkap, bukan karena apa yang ia berikan, tetapi karena apa yang ia harapkan/pamrih.

Bagi ia yang suwung pamrih, tebih ajrih dan dilengkapi pula dengan perabotanipun wong lanang inggih punika bares, manteb, wani.  “ Kula bade ngukur dedeg kula, nimbang boting kamantepan, ajajagi gayuhanipun budi. Yen kersa nyangoni, sampun nyangoni uwas, nanging nyangoni  mantep lan pasrah. Punika sangunipun wong lanang. Insya Allah kula nglaajengaken lampah…… “

Karena tidak punya pamrih beliau tidak takut. Berani berhadap-hadapan muka dengan siapa pun, apa pun, sebab ia tak dibekali rasa was dan sumelang. Beliau seorang yang bares, polos, apa pun yang dikemukakan seperti apa adanya, tanpa tedeng aling-aling. Yang harus kita sikapi bagi masa lalu, sekarang dan akan datang
"BOTEN KENGING NYUDO REGINIPUN SALIRO, UTAWI NYUDO REGINIPUN BANGSANIPUN."

6 komentar:

  1. Saya ikut blog anda, isinya unik-unik, kebetulan baru mencari tentang sosrokartono, untuk di-kompile. Maturnuwun

    BalasHapus
  2. Sangat dalam dan memberi pencerahan

    BalasHapus
  3. Sepi pamrih tebih soko ajrih. Langem tanpo susah tanpo seneng anteng manteng

    BalasHapus
  4. Terima kasih banyak pelajaran yang di petik...
    Semoga selalu bermanfaat...
    Aamiin...

    BalasHapus

Ngening