Minggu, 31 Januari 2010

SYEKH SITI JENAR

Oleh : JH Wenas 
8 Maret 2005 jam 11.29.50

DUNIA baru saja menyaksikan demoralisasi peradaban dibalik perang Vietnam, pada paruh pertama dekade 1970-an seorang muda dari Jepang bernama Daisaku Ikeda mengunjungi Arnold Toynbee di Inggris. Yang pertama adalah tokoh Soka Gakkai; yang terakhir adalah raksasa pikir sejarah peradaban dunia. Toynbee telah renta pada saat perjumpaan timur-barat itu, dan tutup usia tak lama kemudian, 1975. Mereka berdialog.

Toynbee: Saya yakin bahwa gaya suatu peradaban adalah perwujudan dari agamanya. Saya amat setuju bahwa agama telah menjadi sumber vitalitas yang telah menyebabkan kehadiran peradaban di dunia dan telah mempertahankan kehadirannya—selama lebih dari tiga ribu tahun dalam kasus-kasus Mesir zaman Fir’aun dan Cina sejak bangkitnya dinasti Shang dan jatuhnya dinasti Ching pada tahun 1912… Setiap kali suatu bangsa kehilangan keimanan pada agamanya, peradabannya pasti runtuh oleh perpecahan sosial domestik dan serangan militer asing… 


Contoh-contoh fenomena historis adalahnya jatuhnya peradaban Cina Kong Hu Cu sejak Perang Candu dan bangkitnya suatu peradaban Cina baru ketika ajaran Kong Hu Cu telah digantikan oleh komunisme; runtuhnya peradaban Mesir Fir’aun dan peradaban Yunani-Romawi dan penggantiannya oleh peradaban baru yang dilhami oleh ajaran Kristen dan Islam.

Ikeda: Bangsa Indonesia, sesudah memeluk Hinduisme dan Buddhisme mampu menciptakan suatu peradaban luhur yang dilambangkan oleh peninggalan Borobudur yang menakjubkan. Kemudian bangsa ini memeluk Islam, tetapi hal ini tidak membuatnya mampu menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan prestasi yang pernah dicapai sebelumnya. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada bangsa Khmer. Namun apa yang pernah mereka miliki yang membuat mereka mampu membangun kuil agung semacam Angkor Wat, sudah lama hilang…

Toynbee: Seperti telah saya katakan, saya rasa keberhasilan atau kegagalan suatu budaya sangat berkaitan erat dengan agama bangsa itu. Suatu peradaban ditentukan oleh kualitas agama yang melandasinya.

SYEKH Siti Jenar menjadi, atau dijadikan, legenda karena ia kalah dari kekuasaan sezaman “Dewan Wali” pada permulaan abad ke-16 [Diperkirakan fragmen politik Siti Jenar berlangsung pada masa pemerintahan Raden Fatah antara 1500-1518]. Nasibnya serupa dengan Syekh Isa al-Masih lima belas abad sebelumnya dihadapan dewan Sanhedrin, di Yerusalem. Keduanya adalah korban politik. Keduanya mengalami kematian tragis. Keduanya ironisnya tetap eksotik bagi pencari kebenaran, juga sensasi, diseberang kesilaman.

Seperti halnya Isa al-Masih yang bergerak dari periferi provinsi Galilea ke pusat Yerusalem, Siti Jenar bergerak di desa-desa semacam Krendhawasa atau Pengging, lalu mengarah ke jantung Demak Bintoro yang merupakan lemhanas Islam di tanah Jawa pada masa itu. Kartel politik antara kaum elite struktural Islam dan kerajaan Demak yang mencacingkan kelahiran Siti Jenar serta menganjingkan kematiannya, memang dapat mengartikulasikan kekalahannya dari teropong politis. Dalam legenda itu, disebutkan tentang birahi Sunan Kudus untuk menyapu bersih Siti Jenar serta pengikutnya. Sunan Tembayat juga konon berada pada barisan yang menentang Siti Jenar. Stigmatisasi dibalik kedua ikon serendah itu—konon diwejangkan oleh Sunan Bonang—pasti bukannya tanpa latar belakang.

Bila bagi Demak yang Jawa ia dianggap menyebarkan ajaran bid’ah sebagaimana terungkap dalam naskah-naskah Babad Tanah Jawi, Suluk Syaikh Lemahbang maupun Serat Wali Sanga, tidaklah demikian kisahnya bagi Cirebon yang Pasundan. Melalui lensa Cirebon seperti Babad Cherbon, Negara Kretabhumi, Purwaka Caruban Nagari, tidak terdapat konotasi seburuk itu. Ia sebaliknya adalah wali tulen dan sepak-terjangnya dipandang rahmatan ‘lil allamiin bagi kaum mukmin.

Tetapi mengapa perbedaan antara Demak dan Cirebon begitu tajam hanya karena ajakan sang Syekh kepada tasawuf antropomorfistik, begitu istilah Gus Dur, yang mencita-citakan manunggaling kawula kalawan Gusti?

ADA persoalan fundamental. Membalikkan urutan maqam (kalau boleh disebut demikian) dari Ma’rifatullah ke Syari’at mengundang kecemasan akan konsekuensi sosio-politiknya pada ruang publik. “Jika engkau tidak mengetahui siapa yang disembah akhirnya cuma menyembah ketiadaan, suatu sembahan yang sia-sia,” kata Siti Jenar. Kenali dan alami Tuhan dulu, baru taat kepada-Nya. Sebab tak kenal maka tak sayang; tak sayang maka tak taat. Kira-kira begitu maksudnya. Bila Tuhan telah dikenal, telah dialami secara eksistensial, maka dengan sendirinya Syari’at berjalan sebagai dorongan kebutuhan, sebagai panggilan siklus alamiah. Kurang-lebih begitu proyeksinya.

Mengatakan iyyâka na’budu, berarti pribadi masih mengklaim diri mampu dan aktif menyembah. Hal ini baik, tapi kurang cukup. Sebab, kalau sudah wa iyyâka nasta’în, itu artinya pribadi lebur, menyatu dengan Tuhan. Lepas dari dunia ego, menjadi manusia hakiki. Dengan demikian ‘ibâdah al-shâlihîn, ibadahnya orang saleh, adalah ibadah yang tidak lagi mengklaim bahwa “aku telah berbuat baik” sebab sebetulnya Tuhan sendiri yang bekerja. Hal ini paralel dengan keyakinan orang Kristen, “Tidakkah engkau percaya bahwa Aku ada di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Segala sesuatu yang Kukatakan kepadamu, bukanlah dari diri-Ku sendiri. Bapa yang tinggal di dalam Aku melakukan pekerjaan-Nya” (Yoh 14; 10). Siti Jenar ingin Surat al-Fatihah dibaca lengkap, supaya Sang Pribadi dipahami lengkap.

Pada panggung politik memang hamba lebih sering teraleniasi dari para tuan yang ramah, yang mengira mereka memiliki kebajikan. Tetapi ini soal agama, di mana sumber rahmat adalah ketakterhinggaan sehingga riskan terhadap sentuhan politik. Rahmat adalah yurisdiksi Tuhan, bukan umat, apalagi para wali. Tentang rahmat, ada syair mengharukan dari si cantik kelahiran Basrah, Irak, Rabi’ah Adawiyah (713-801 M):

Ya Tuhan, kalau aku menyembah Engkau

hanya karena takut neraka-Mu

masukan saja aku ke neraka itu

kalau aku menyembah Engkau
karena tamak akan surga-Mu
haramkan aku daripadanya
Tetapi, kalau aku menyembah
karena ridha-Mu, maka terimalah aku

Untuk itu Siti Jenar menawarkan sebuah model “pencarian Tuhan” dengan sekuel Ma’rifatullah>Hakekat>Tarekat>Syari’at (MHTS)—tentu saja ini suatu simplifikasi semata—yang berlawanan dengan sekuel Syari’at>Tarekat>Hakekat>Ma’rifatullah (STHM) sebagaimana telah menjadi taklid mayoritas secara turun-temurun.

Membalikkan STHM menjadi MHTS bukan soal serampangan. Apalagi Ma’rifatullah artinya juga “memindahkan” baitullah yang di Mekkah itu ke dalam kepala masing-masing kaum mukmin tanpa pandang kelas. Yang paling dikuatirkan dari metafora (qias) ini adalah risiko salah-paham di tingkat umat. Keadaan menjadi lebih buruk bila karenanya terjadi pembongkaran tradisi magisterium (kekuasaan mengajar) para wali, bagi siapa interpretasi mi’raj dalam konteks Ma’rifatullah adalah teritori di atas langit yang belum boleh dijamah oleh kaum awam di kolong langit.

Pada tingkat individual model MHTS adalah sebuah metode pencerahan dan pembebasan dari bermacam belenggu doktrin maupun segala ikatan tradisional. Pada tingkat sosial, konsekuensinya, bisa terjadi suatu evolusi pembentukan masyarakat yang berswadaya. Suatu pendidikan kaum tertindas, jika kurang ekstrim disebut teologi pembebasan dalam kaca mata Pôrto Alegre zaman sekarang. Pada akhirnya MHTS adalah juga pemberdayaan komunitas basis. Imajinasi tentang penawaran MHTS yang menimbulkan stampede di sisi permintaan tidak memerlukan seorang dukun untuk mengetahui nasib apa yang akan dialami kerajaan.

Bagi Demak model “pencarian Tuhan” tidak dapat ditawar-tawar, tetap harus STHM. Ketika sebuah caesuur (garis pemisah) antara zaman Hindu-Majapahit yang sedang tenggelam dan zaman Islam-Demak yang sedang menyingsing baru saja terbentuk, memindahkan ownership Ma’rifatullah ke ruang publik di mana seyogyanya Syari’at saja yang pantas diterapkan, perlu diharamkan. Konsolidasi masih menyisakan kerepotan antar aparat, tetapi Siti Jenar justru bergaul akrab dengan sekumpulan anasir orde lama Majapahit semacam Ki Ageng Pengging (atau Kebo Kanigoro), selain dengan sebarisan tokoh lokal dari komunitas Jepara, Tingkir, Kediri hingga Tuban. Bagi suatu sistem feodalisme, faktanya memang siapa “menguasai” Tuhan, dia menguasai dunia. Didatangi wangsit artinya adalah legitimasi, ditinggal pergi wangsit artinya delegitimasi.

Bisa dimengerti bila bagi Demak manunggaling kawula kalawan Gusti adalah catchwords yang diasosiasikan sebagai argot perlawanan lokal terhadap kekuasaan pusat. Arti lainnya adalah, garis proliferasi Islam di pesisir utara Jawa, dari timur ke barat, bisa kacau-balau. Padahal misi penaklukan Cirebon dan Banten masih harus diwujudkan ditengah perasaan gundah publik Pasundan menatap sinar-sinar Galuh dan Pajajaran yang semakin meredup. Dari titik pandang ini, cetak-biru geopolitik Demak terancam. [Kira-kira tahun 1525, misi penaklukan wilayah barat ini diwujudkan oleh Syekh Nurullah yang merupakan adik ipar Raja Demak ketiga, Sultan Trenggana. Setelah bertahun-tahun tinggal di Banten, Nurullah menetap di Cirebon di mana ia kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati].

Memang, fase pelembagaan adalah pertanyaan tersendiri ketika politik harus menemukan maknanya dan sejarah harus ditulis. Bagaimanapun, kenyataan “sabda” yang menjelma menjadi “daging” dalam suatu ikatan spiritual network, telah menyebabkan krisis kepercayaan diri pada kalangan borjuasi kerajaan akibat terperangkapnya kreatifitas oleh roh kekuasaan itu sendiri.

 SYEKH Siti Jenar tidak lagi menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Pada tahun 1581 sebuah “revolusi” dibawah komando Jaka Tingkir dari Pajang menewaskan Aria Penangsang, keluarga raja Demak terakhir di Jipang. Di bawah Pajang benih-benih hegemoni Mataram mulai ditebarkan. Demak yang pesisir terpuruk menjadi suzereinitas oleh Mataram yang pedalaman.

Sejak tata ruang politik Jawa bergeser ke pedalaman, intensitas pergesekan antara kawula santri dan abangan, kawula saudagar dan priyayi, mewarnai jalannya sejarah. Di bawah pengaruh Mataram, Jawa merintis budaya agraris. Budaya maritim yang diwariskan dari tradisi Majapahit perlahan-lahan lengser keprabon madeg pandhito, walaupun pesisir seperti Indramayu, Semarang, Sidayu, Jepara, Surabaya dan Pasuruan masih menjadi pilar-pilar emporium bagi ketahanan ekonomi imperium. Bukan tanpa maksud istilah madeg pandhito digunakan di sini, sebab Masjid Agung Demak tetap dipertahankan oleh Mataram sebagai ikon bagi Jawa yang Islam, sekaligus menegaskan berlalunya zaman “kafir” Majapahit.

Tetapi nampaknya orang Jawa lebih menginginkan Islam melakukan asimilasi ketimbang akulturasi. Sumber-sumber keraton Mataram kemudian banyak memantulkan semangat manunggaling kawula kalawan Gusti dalam berbagai serat seperti Wulangreh dan Werdatama. Batin orang Jawa tentang “wangsit” nampaknya selaras dengan “wahyu” dalam Islam yang selain memang samawi, juga profetik tentang datangnya era kebahagiaan sejati serta kemuliaan kekal. Maka transisi politik ini juga memuat pergeseran dari Islam-Demak yang mencari vitalitas dalam Syari’at, menuju Islam-Mataram yang mencari vitalitas dalam Ma’rifatullah. 

Ma’rifatullah lebih terasa sebagai endogenetis kearifan lokal, sesuatu yang hadir dari dalam, ketimbang Syari’at yang terasa sebagai eksogenetis kearifan asing, lebih berbau sorban Arab daripada belangkon, sesuatu yang hanya hadir dipermukaan. Pada titik ini apa yang diistilahkan Islam-Jawa terbentuk, mengakar kepada sistem nilai yang terekam sejak abak ke-9 M di masa ko-eksistensi dinasti Syailendra dan Sanjaya seiring lahirnya abjad Jawa Hanacaraka menggeser huruf Palawa dan Sansekerta [Mpu Ubayun adalah satu nama yang sering dikaitkan dengan Hanacaraka, walaupun tidak ada kepastian tentang hal ini].

Sistem nilai itu adalah manunggaling kawula kalawan Gusti—jadi, sudah ada kira-kira enam ratus tahun sebelum periode para wali Islam di tanah Jawa. Bahkan kalender Kamariah baru diterapkan tahun 1633, sebelum itu Jawa masih mempersepsikan waktu menurut kalender Saka hingga Sultan Agung menghadapi pemberontakan 27 desa di tahun 1630 dibawah karisma Syekh Bungas dari Wedi. Kejadian ini hanya satu pertanda bagi elegi dinasti Mataram sejak Amangkurat I naik tahta (1646).

Sejak itu, Islam kembali jatuh ke dalam fragmentasi berbagai kepentingan: Komunitas, Kekuasaan, dan… Kapitalisme—dari VOC hingga IMF. Secara anakronistik, dan pasti kontroversial, apakah Syekh Siti Jenar sebetulnya merasakan apa yang dirasakan Arnold Toynbee? Atau sebaliknya.

J.H. Wenas, rakyat jelata, tinggal di Jakarta

3 komentar:

  1. Postingan yg menarik namun kontroversial

    BalasHapus
  2. Minoritas dan kalah terbiasa menjadi yg salahkan seperti halnya Rahwana

    BalasHapus

Ngening